Ternyata dalam keseharian saya, ada satu kegemaran yang entah sejak kapan tepatnya mulai muncul. Yang pasti dari kecil saya suka melakukannya.
Mengamati romansa pasangan suami-istri yang sudah beranjak senja. v(´▽`)7
Ya, mungkin kedengarannya aneh, tapi saya suka diam-diam memperhatikan, mengamati setiap gerak gerik mereka dan itu menimbulkan energi yang luar biasa dari dalam diri saya.
Hangat, bersemangat.
Bisa jadi karena aura kasih yang mereka pancarkan...weitseeeehhh...bukan yang artis itu lho ya
(-,-")a
(-,-")a
Tatapan penuh kasih mesra dari sorot mata yang sudah tidak tajam lagi.
Ulas senyum yang terlukis di wajah yang mulai keriput.
Candaan yang seolah membawa mereka kembali ke masa muda.
Serupa sepasang sahabat sejati nan bahagia tanpa pernah terluka.
Sempurna tanpa cela.
Sempurna tanpa cela.
MasyaAllah, saya seketika tersenyum sendiri memulai tulisan ini.
Di hampir setiap perjalanan saya, terekam banyak sekali romansa-romansa senja yang indah, karena saya sendiri juga suka berinteraksi dengan orang-orang yang sudah sepuh, itung-itung sekolah kebijaksanaan. xixixixi.
Nah, karena banyak, tentu saja tidak bisa saya ceritakan semua. So, I'll start with the pieces of the story of my family saja ya... mbuehuehue... ~(˘̀ ▽˘́)~ ...
Sebagai cerita pembuka, saya hadirkan kedua orang tua dari Ibu saya, yaitu Alm. Mbah Kakung Soetopo bin Soemodiredjo (wafat di usia 71th - 1987) dan Alm(h). Mbah Putri Moertini binti Sastrowidjojo (wafat di usia (80th - 2004). Sepasang anak manusia yang menghabiskan masa senjanya dengan penuh penghargaan ala Jawa.
Saat masih kecil, saya suka sekali mendengarkan Mbah Putri mengisahkan betapa beliau kagum pada sosok alm. Mbah Kakung.
Mbah Kakung, pria Jawa yang sangat Jawa #ehh . Urusan bekerja mencari nafkah di luar adalah urusan pria. Tugas wanita memastikan anak terjaga dan tumbuh sempurna. Tentang penyediaan fasilitas kemapanan hidup, itu sudah jaminan dari sang pria.
Mbah Putri, juga wanita Jawa yang sangat Jawa (´▽`) - c<ˇ εˇ). Seorang istri dan ibu yang perfectionist, selalu memastikan segala urusan pekerjaan rumah tangga ada di bawah komandonya. Pasti rapi, bersih, beres dengan anggun. Bawel? Cerewet? Pasti dong, tapi bawel dan cerewetnya anggun banget (.˘˘ʃƪ). Dari beliaulah saya mendapat banyak pengajaran dan contoh langsung bagaimana tata krama anggun seorang wanita Jawa.
Yaaaaa walau seringkali kelepasan lupa sikap kalau sudah kambuh cerewet dan bawelnya saya ~(˘̀ ▽˘́)~. Dan kambuhnya hampir tiap saat dong bkakakakak #ehh pst... perempuan tidak boleh buka mulut dan mengeluarkan suara kalau terpingkal-pingkal (*ngendikane mbah Putri - kata mbah Putri).
Well, kembali ke Mbah Kakung-Putri. Satu percakapan yang sempat dikisahkan Mbah Putri dan sangat membekas di benak saya adalah percakapan sederhana permintaan Mbah Kakung untuk disiapkan makan sepulang dinas.
Mbah Kakung : "Jeng, Njenengan masak to kae mau? (Jeng, tadi masak khan?) *dan ini adalah isyarat untuk minta tolong disiapkan makan, padahal ya sudah tahu kalau pasti masak tiap hari juga, tapi ini sebagai penghargaan karena beliau paham repotnya mengurus urusan rumah tangga. Beliau tidak ingin terkesan memerintah.
Mbah Putri : "Kersa dicepakaken dhahar sak punika, Mas?" (Mau disiapkan makan sekarang, Mas?). *Tanpa perlu menjawab masak atau tidak dan tanpa perlu menjelaskan menu masakan hari ini, beliau sudah tanggap. Ya karena memang budaya Jawa, teguran harus tidak boleh menyakiti hati orang lain.
Mbah Kakung : "Nggih...Nggih...wah, enak tenan ki mesthine" (Iya... Iya...wah enak sekali ini pastinya)SO SWEET BANGET khaaannnn....(ε˘˘ʃƪ). Entah masakan itu nantinya enak atau tidak, tapi lagi-lagi itu sebagai bentuk apresiasi terhadap kerja keras Mbah Putri menangani urusan rumah, dan itu serasa menjadi pengobat lelah. Huuu huuuu mauuuuu (ε˘˘ʃƪ).
O iya, ditambah lagi panggilan mesra mereka berdua :
Mbah Kakung ke Mbah Putri : " Diajeng (Jeng) "
Mbah Putri ke Mbah Kakung : " Kangmas (Mas) "
Duuuuuhhhhhh....makin mlipir ngiler deh saya...(ʃƪ˘˘.) (.˘˘ʃƪ). Romantis bangeeeeettttt yaaaaaaa.....
Next story is coming from Pakliknya Bapak beserta istrinya dan Buliknya Bapak beserta suaminya. Lhoh, kenapa bukan Mbah Kakung-Putri orang tua Bapak? Ya karena Bapak sudah yatim piatu sejak kecil dan dibesarkan oleh Buliknya Bapak.
Sekali waktu Ibu pernah berujar, "Ibu nggak pernah tahu rasanya disayang mertua, tapi ibu yakin mereka menyayangi Ibu karena Ibu tulus menyayangi Bapakmu. Ibu hanya bisa kirim doa bakti buat Mbah Kakung-Putri Tuban karena lantaran mereka...bapakmu ada". Duuuuuuuuuuuhhhhhh sedih banget sumpaaaahhhhhh.....(╥﹏╥).
Wis, tahan dulu nangisnya (T^T) tarik nafas...
Beranjak ke Pakliknya Bapak dari keluarga Ponorogo.
Panggilan sayang beliau ke istrinya : "Dek"
Panggilan sayang istrinya ke beliau : "Mas"
Dan sampai penghujung usia, mereka tetap mesra dengan panggilan seperti itu (beliau wafat di usia 90th-an). Hidup mereka sungguh harmonis walaupun diuji dengan agak sulit memiliki keturunan. Bagi mereka, hidup itu lillahi ta'ala, menjalankan sebaik-baiknya apa yang sudah menjadi ketetapan Allah. Meski andai tanpa hadirnya keriuhan keturunan, mereka akan saling menopang hingga takdir Allah menentukan mereka harus terpisah alam.
Masya Allah... manis banget khan ya....
( ~ _ ~ )
(")(") mauuuu bangeeetttt, Yaa Allah..... pleaseeeee...(ʃƪ˘˘.) (.˘˘ʃƪ)
Berikutnya... mari kita SAMBIT #ehh sambut xixixixi apaan sih?!
ya udah deh ya yuuukkk mari melanjutkan ke pasangan berikutnya *\(´▽`)/*.
Pasangan yang punya andil jasa dalam membesarkan Bapak, Buliknya Bapak dari keluarga Tuban beserta suami tercintanya.
Seperti yang dikisahkan oleh Ibu dan Bapak, beliau ini adalah sosok istri yang amat sangat patuh pada suami. Wanita rumahan yang hidup dan matinya hanya untuk suami dan anak-anaknya. Tidak banyak yang beliau inginkan, bahkan mungkin tidak ada selain ridho Allah, ridho suami, dan ridho anak-anak beliau atas bakti beliau. WOW banget yaaaaa .....c(ᵔoᵔc)
Ketika berbincang dengan suaminya pun beliau menggunakan bahasa jawa halus. Begitu hormat dan baktinya beliau pada suami. Begitu pula sebaliknya, sang suami begitu memujanya. Panggilan mesranya juga Dek dan Mas, hingga sepuh. (ε˘˘ʃƪ)
Next roll, Paman dari ibu, tapi saya menyebut beliau Pakdhe. Beliaulah yang dianggap sebagai pengganti Mbah Kakung, tetap perhatian pada Ibu selayaknya anak sendiri, dari sejak Mbah Kakung sugeng hingga beliau sendiri wafat.
Well, This is the romantic story. Sejak awal menikah hingga menjalani kehidupan rumah tangga, mereka tidak pernah sekalipun merepotkan keluarga besar. Mungkin karena tinggalnya memang terpisah dari keluarga besar. Setelah menikah, langsung pindah menempati rumah sendiri, beberapa bulan kemudian tahu-tahu Budhe sudah hamil. Dan selang setahun kemudian si bayi sudah diperkenalkan ke keluarga besar. Tidak pernah terdengar konflik dalam keluarganya.
Namun ujian datang di tahun 2003, saat pertama kali Pakdhe terserang stroke. Pada serangan stroke pertama, Pakdhe masih bisa berjalan walau dengan agak susah payah. Tapi serangan kedua yang datang setahun kemudian menumbangkan beliau. Raga beliau lumpuh total. Semakin hari tubuh beliau habis digerogoti penyakit itu, tapi beliau benar-benar tabah, sabar, ikhlas menerima sakit itu. Terlebih karena bakti sang istri yang Masya Allah luar biasa, pastinya menambah semangatnya.
Awal-awal walau hanya terbaring di tempat tidur, beliau masih mampu terbata berbicara, dan meski lumpuh beliau tetap tekun mendirikan sholat. (╥﹏╥).
Sebelum sakit, Pakdhe bekerja di Dinas PU Malang, setelah sakit kontan Pakdhe tidak bekerja dan Budhe yang menggantikan. Budhe mengupayakan sawah yang mereka miliki, ya Budhe bertani, wanita perkasa. Budhe dengan telaten merawat Pakdhe. Memastikan semua kebutuhan beliau terpenuhi, mulai dari memandikan, menyikat gigi pakde, mengganti pakaian, menyuapi makan dan minum, hingga membersihkan kotoran. Budhe orangnya sangat bersih, itu sebabnya walau sakit Pakdhe sedemikian rupa, tapi tidak ada bau tidak sedap yang tercium. Beliau ibarat raga pengganti untuk Pakdhe.
Budhe tetap berbincang dengan Pakdhe, menceritakan kejadian-kejadian yang dialami, bercanda, walau reaksi Pakdhe hanya tersenyum dan tertawa lebar tanpa suara. Seolah tak ada yang berubah dalam kehidupan mereka. Tidak pernah sekalipun beliau membentak Pakdhe, benar-benar lembut walau kami paham beliau pasti merasa letih, payah yang teramat sangat.
Pernah waktu keluarga besar menjenguk Pakdhe, adik Pakdhe berujar, "Ya Allah mbak, ketelatenanmu akan dibalas surga sama Allah. Pahalamu pasti besar. Kalau istrinya bukan kamu, entah gimana nasibnya Mas", dan Budhe langsung marah.
"Eh, jangan bilang seperti itu, aku tulus bakti sama suamiku, mau dibalas pahala ataupun nggak, wallahua'lam, aku ikhlas, aku nggak minta apa-apa karena itu memang sudah kewajibanku. Nggak ada manusia yang boleh bilang gini gitu, itu hak Allah."
Saya yang sedang memijit pelan kakinya langsung melirik ke Pakdhe, dan beliau tersenyum sembari
memberikan isyarat kedipan mata, saya pun tergelak, mungkin kami berpikir hal yang sama, "rasain deh diomelin Budhe wkwkwkwk"
Setelah sekian lama diuji penyakit oleh Allah, akhirnya lebaran tahun 2011 yang lalu Pakdhe berpulang di usia 60 sekian.
Saat memandikan jenazah pun tanpa bantuan pihak luar, hanya Budhe beserta putra putrinya dan Pamannya Budhe yang dimintai tolong untuk memimpin doa karena beliau memang Modin (apa ya bahasa Indonesianya Modin --").
Jadi ketika pelayat mulai berdatangan, jenazah sudah bersih. Beliau hanya berkata "kondisi suamiku bukan untuk dibicarakan oleh banyak orang, biar hanya aku dan anak-anakku yang tahu". MasyaAllah (╥﹏╥).
Daaaannn kisah romansa senja dalam keluarga yang akan saya bagi sebagai penutup tulisan ini adalah Ibu dan Bapak *\(´▽`)/*. Penutup tulisan lho ya, bukan penutup rangkaian kisah yang akan mekar di kemudian hari lho ya...ahahahahaeee...
Ibu dan Bapak, Perpaduan keluarga jawa kental dan keluarga pesantren jawa kental yang akhirnya menghasilkan anak bermotif abstrak dan semi absurd seperti saya ini bkakakakak #ehh lupa ngakak lagi, mesti kalem xixixixixi
Walaupun Ibu tidak menggunakan kromo inggil (jawa halus) saat berbincang dengan Bapak, tapi mereka berdua sangat menjunjung tinggi penghargaan terhadap pasangan. Panggilan mesra mereka bukan Diajeng, Kangmas, Dek, apalagi cinta, sayang, rindu seperti kebanyakan pasangan saat ini.
(_ _")zzzzzz *langsung eneg
Panggilan mesra Bapak ke Ibu : "Thiwuk" (⊙.◎")a
Panggilan mesra Ibu ke Bapak : "Ke' " w(ὺ.ύ)w
*apalagi ituuuhhh (╥ ~ ╥")
Kata ganti panggilannya adalah : "sampean"
Entah apa maksud nama panggilan itu, aneh sih emang hahahaha *ROTFL
Mungkin karena jarak usia Ibu dan Bapak terpaut tidak terlalu jauh, jadi kesannya beliau-beliau ini seperti sahabat sejak kecil, malah lebih mirip bercandanya dua saudara.
Berbeda dengan para sesepuh yang masih ada rasa sungkan untuk bercanda yang agak kelewatan, Ibu dan Bapak lebih all out.
Masak berdua, Bapak bertugas menghaluskan bumbu, dan ibu menumisnya. Mereka juga jail.
Kalau bumbu ulegan kurang halus, ibu dengan seenaknya bilang, "kurang alus. Ulang!!!", tapi setelahnya nyengir kuda lalu terpingkal-pingkal.
Dan Bapak hanya menimpali, "woooo, dasar Mandor Paidi!!!"
Begitu pula dengan Bapak. Saat dunia sedang tenang karena Ibu tidak bawel, ada saja yang dilakukan Bapak. Sekali waktu pernah tiba-tiba seolah terkejut sambil melotot dan menunjuk di belakang punggung Ibu, "YAA ALLAH... YAA ALLAH ... GEDE BANGET ... LABA-LABA ... MINGGIIIIIIIRRRR!!!!!".
Kontan wajah Ibu memucat, lalu meloncat sambil menjerit sekuat tenaga. Matanya terpejam rapat sambil melempar apapun yang ada di sekitarnya ke arah Bapak.
Dan kami anak-anaknya, langsung berhambur menyelamatkan diri sambil terpingkal-pingkal menertawakan Bapak yang berusaha melindungi diri dari lemparan Ibu. Beliau pun terpingkal-pingkal walau sambil nyengir menahan sakit akibat satu barang yang sukses mendarat di dahi Bapak.
Moment semacam itu jarang dilakukan Bapak, karena beliau tidak seperti saya, ibu, dan adik yang ekspresif menunjukkan suasana hati kami.
Awal tahun saat saya pulang ke Malang, saya sempat ngobrol santai berdua dengan Bapak, dan sambil memandangi tanaman di halaman depan, beliau menggumam, "Omelan dan bawelnya Ibumu itu memang berisik, bahkan seringnya malah kayak ngrepoti. Tapi dunia tanpa omelan Ibumu itu kayak nggak hidup."
Dan karena saya adalah anak Ibu dan Bapak yang sama-sama jail, spontan saya berteriak sambil terbahak-bahak menertawakan Bapak, "eeeeeeaaaaaa....wwaaaahuhahahahahahaha. Bapaakkk bkakakakakak....akakakakak...ihiiirrrr....ternyataaaa....wakakakak....", dan keusilan itu makin menjadi saat saya dapati wajah Bapak memerah. Dan mendengar kegaduhan itu, kontan mengundang hadirnya adik saya dan keponakan untuk memperkeruh suasana. *\(´▽`)/*
Perjalanan rumah tangga Ibu dan Bapak tidak selalu mulus dan penuh bahagia seperti cerita di atas, banyak liku-liku rumit yang juga harus mereka tempuh. Yah seperti pasangan lain pada umumnya, ujian hadir saat Bapak tidak bisa lagi bekerja dikarenakan sakit dan usaha keluarga hancur. Seperti yang sudah pernah saya ceritakan pada posting saya yang lalu, ibu -anak tunggal dari keluarga terpandang yang tidak pernah bermimpi mengalami kejamnya dunia- ikhlas tanpa paksaan mengambil alih kemudi. Bekerja di Malaysia sebagai pembantu. Merelakan hilangnya waktu melihat tumbuh kembang anaknya, walau beliau tetap intens mendampingi dari jauh. Demi masa depan anak, dan demi pengobatan Bapak. (╥﹏╥)
Well, pahit manisnya masa itu sudah terlalui cukup memuaskan walau tidak sempurna. Kini, mereka sudah bersama berkumpul kembali, tertatih berdua menghadapi sisa ujian dan coba yang masih mendera di sisa usia. ( ˘-˘)/(TзT)
Dari mereka saya banyak belajar tulus menerima dan berbagi.
Bahwa...
Berdampingan dalam bahtera pernikahan bukan hanya sekedar melimpahkan roman picisan,
Bukan tentang sepotong coklat dan setangkai bunga,
Bukan tentang betapa sempurnanya pasangan,
tapi tentang besarnya ketulusan menerima dan berbagi untuk saling menyempurnakan.
~ YOU ARE NEVER TOO OLD TO SHOW HOW BIG IS YOUR LOVE ~
Doa cinta untuk beliau-beliau yang sudah menghadirkan pemahaman makna ketulusan kasih dalam proses pembelajaran hidup saya...
Al-Fatihah...