Dan ini adalah orang sepuh kesekian di suatu pertemuan tak terduga yang ujug-ujug menasihatiku, dengan kalimat yang kurang lebih sama.
Tanpa diawali perkenalan, tanpa basa basi.
"Berat ya, Nduk? Memang ndak seharusnya kamu yang mikul."
"Ragamu, jiwamu, juga butuh dikasihi."
"Jangan demen menyalahkan diri sendiri. Semua yang gagal itu bukan hanya karena peranmu. Sudah ada yang ngatur. Ingat-ingat ini, berhenti menyalahkan diri sendiri dan jangan dipendam sendiri!"
Pingin ngeyel saat "dibaca" seperti itu.
Aku bukan mikul sendiri, karena sadarku, kami punya peran masing-masing.
Ragaku, jiwaku, tentu saja aku sangat mengasihinya, sangat mencintainya.
Dan tentang menyalahkan diri sendiri...
Apa gunanya aku menyalahkan orang lain?
Toh, hanya akan memupuk dendam.
Aku yang mengijinkan gagal dan kecewa itu masuk dalam kehidupanku, pernah aku ijinkan menjadi pengharapanku.
Jadi, apa namanya kalau bukan salahku?
Tentu saja semua ini akan aku simpan sendiri.
Berapa banyak kah yang akan mampu mengerti?
Dan aku sudah terlalu lelah untuk menceritakan kembali jika akhirnya sulit untuk dipahami.
"Mbah tahu, hatimu mengingkarinya." Tutupnya sembari tersenyum dan berlalu pergi.
Aku...
Hanya bisa tersenyum menatap punggungnya yang perlahan menghilang,
"Mungkin, di dunia, inilah tugasku, Mbah!"
No comments:
Post a Comment