Pages

Tuesday, April 8, 2014

Hanya karena tidak ikut mencaci, saya dituduh Liberal



Semakin marak broadcast provokatif yang saya terima belakangan ini. Ya, saya menyebutnya provokatif karena di akhir kalimat pesan itu ada ajakan untuk mencaci dan menistakan.
Mulai dari pornografi, kesukuan, bahkan merembet ke pemilu hingga tentang seorang artis yang baru saja berpindah agama. Parahnya semua disertai link untuk mendownload videonya alih-alih sebagai pembuktian. 
Bisa coba berpikir ya, bagaimana jika link tersebut adalah link video porno dan jika sampai ke tangan anak-anak di bawah umur, apa tidak malah memberi mereka contoh untuk semakin memerosotkan moral generasi bangsa yang sudah semakin mengkhawatirkan ini?
Ah, sudahlah... toh tentang smart broadcast ini juga sudah pernah saya publish beberapa waktu yang lalu disini.
Tapi kenapa saya ingin sekali menuliskan tentang broadcast messages ini, karena hati saya terusik melihat Islam saya dikambing hitamkan oleh orang-orang penyebar BM tersebut.

Baiklah, sebenarnya ada dua hot topic yang ingin saya bahas disini yaitu tentang pemilu dan tentang seorang artis yang berpindah keyakinan keluar dari Islam. Semua pasti tahu siapa yang saya maksud, yup tepat sekali, Asmirandah. Asmirandah dulu saja ya, lalu tentang pemilu akan saya celotehkan pada postingan berikutnya saja, karena keduanya akan menjadikan ocehan saya menjadi cukup panjang.

Sebelumnya saya mohon maaf sebesar-besarnya jika tulisan saya ini kurang berkenan bagi beberapa pihak. Ini hanya sekedar ocehan hati saya.

Tentang Asmirandah.
Saya tidak kenal siapa dia, tapi gadget saya full chats BM tentang dia. Dari sedikit yang saya dengar, mereka mempermainkan agama dan kepercayaan demi yang namanya cinta, begitu katanya.
Jujur hati saya sakit, tapi bukan karena Andah pindah keyakinan ataupun mengaminkan keputusan tersebut. Tapi lebih karena teringat kejadian yang kami sekeluarga alami saat pertama kali memeluk agama Islam.
Apa hubungannya? 
Baiklah, sedikit akan saya ceritakan kisah ini, walau harus sambil menangis karena sakit sekali mengingatnya.

Yang kami terima dari saudara sesama muslim di sekeliling kami adalah ejekan, hinaan, cercaan, disepelekan, dikucilkan, bahkan dianggap najis. (*maaf, ini kenyataan yang terjadi, tidak bermaksud untuk melebih-lebihkan*)
Kami dianggap anjing dan bahkan dipanggil dengan nama salah satu anjing yang kami pelihara dulu sebelum jadi mualaf.

Kami yang belum tahu apa-apa, yang menggebu ingin belajar karena mencintai kasih di dalam Islam seolah digampar keras dengan sikap seperti itu.
Bukannya dipeluk, tidak juga direngkuh. 
Bagaimana rasanya menjadi kami?
Tentu kami berpikir, inikah? seperti inikah?
Syok?
Depresi?
Wah, jangan ditanya lagi... sudah pasti, tiap hari dijalani dengan berurai air mata. 
Sebelum tidur memikirkan apa yang akan terjadi esok jika kami bangun?
Bangun tidur dengan perasaan hancur dan bertanya apalagi hari ini?

Dan pada saat seperti itu, seorang pemeluk agama masa lalu kami mendekat lagi, "Itukah, Nak? seperti itukah agama yang kau anggap penuh kasih dan akhirnya kau pilih? Sungguh, tiada yang lebih damai dalam suka cita selain umat agama yang kau tinggalkan"

Jika tidak karena kami adalah orang yang berpikir dan bukan orang yang mengikuti bara api dalam hati, mungkin kami akan sudah berpindah agama kembali. Beruntung bagi kami karena Allah menjaga pikiran dan hati kami untuk tetap sejuk berpikir.
Bukan Islam yang salah, Islam bukan agama brutal, tapi adalah sebagian penganutnya yang "terlalu cinta" dengan Islam, sekedar tahu dan  mengaku Islam, tapi (maaf) dangkal pemahaman, sehingga mudah sekali ditunggangi pihak-pihak yang berkepentingan memperburuk citra Islam. Walaupun katanya santri dan mondok di banyak pesantren. Yang saya pahami adalah bahwa mengerti dan hafal itu belum bisa diartikan paham.
Sekali lagi maaf, karena ini hanya curahan hati saya.

Enough tentang kisah itu, dan kembali ke Asmirandah.
Saya menilik kembali kasus yang terjadi dan kasusnya hampir sama dengan yang terjadi pada adik saya.
Keimanan, kurangnya pendampingan dari orang tua terutama Ibu karena beliau harus menggantikan tugas Bapak yang sakit sebagai pencari nafkah. Juga karena hal-hal lain yang terlalu panjang untuk dijelaskan, membuatnya sempat terperangkap pada hubungan beda agama. 
Tenangkah kami? 
Tentu tidak, justru kami sangat sedih.

Kesulitan terbesar kami untuk tetap bisa memeluk adik kembali dalam Islam adalah karena kecenderungan sikap kerasnya di usia-usia labil kala itu. Saya sempat marah dan malah menjauhi adik, tapi justru sikap itu yang makin menjauhkan adik dari jalan Allah. Astaghfirullah jujur saya merasa berdosa sekali, semoga Allah mengampunkan kebodohan saya.

Hingga suatu ketika pada sebuah pembahasan kecil dengan Ibu, beliau ngendikan "Nduk,ingat ndak waktu pertama kali kita masuk Islam, apa reaksi orang-orang itu?"
Seketika saya terhenyak dan menjawab, "Nggih, Bu! Kita dianggap anjing"
"Haruskah kita juga bersikap seperti itu jika kita ingin adikmu kembali pada kita? Lalu apa bedanya kita dengan mereka? Allah yang Maha Kuasa atas hati manusia, bahkan Allah Maha Pengampun walau Dia satu-satunya yang berhak untuk murka.", jelas Ibu sambil tersenyum.

Dan kalimat terakhir Ibu itu menyadarkan saya, tidak seharusnya saya seperti itu. Saya terlalu mencintai keluarga saya hingga saya terbutakan, tidak ingin ada sedikit pun ketidak sempurnaan di dalamnya.

Sejak malam itu, kami lebih fokus untuk memberi kasih dan perhatian untuk adik di setiap kesehariannya. Selalu membawanya dalam doa di setiap nafas kami. Ibu selalu membacakan bismillah setiap kali adik minta disuapi, walau mulut adik tak bergeming untuk mengucapnya. Bertahun-tahun kami lalui seperti itu dengan penuh kepasrahan dan keyakinan pada kemurahan Allah.
Dikabulkankah?
Tentu saja, Allah Maha Kasih pada hambaNYA yang bersabar dalam ikhtiarnya. Kini, dalam setiap lakunya selalu terucap asma Allah dan akhirnya perjuangan kami tiba pada fase untuk sama-sama mempertebal benteng keimanan kami.

Nah, pertanyaannya sekarang sehubungan dengan kasus Asmirandah, apakah pihak pembuat BC dan yang terprovokasi sehingga ikut menyebarkannya itu melakukan perjuangan yang sama seperti yang kami sekeluarga lakukan untuk adik kami?
Jika tidak, lalu apa hak kita untuk mencaci?!
Apakah tentang penistaan agama? Jika iya, biarlah itu menjadi urusan mereka dengan Allah, satu-satunya hak Allah.

"Sebarkan BC ini jika kalian cinta Islam, biar semua umat Islam tahu siapa Asmirandah!!!"

Lalu...
Kalau sudah tahu, langkah selanjutnya apa?
Apakah ada efek pada Andah?
Jawabannya bisa dipastikan adalah tidak, justru keyakinannya semakin kuat. Kenapa? Karena saudara seimannya merengkuhnya yang membuatnya nyaman disana.
Masih juga ngotot bahwa saya harus tahu? Nek wis ngerti, #Njurngopo ?

BERAGAMA TIDAK SEBERCANDA ITU

Pernahkah terpikir bahwa bisa jadi pembuat BC itu adalah pihak yang berkepentingan memecah belah dan menghancurkan Islam?! Mereka paham kaum muslim sangat mencintai Islam bahkan sanggup melakukan apapun demi membela Islam. Tapi, sayangnya kecintaan itu tidak disertai dengan agungnya kedewasaan yang bijak yang bertabur di seluruh ajaran Islam.
Menjatuhkan Islam yang sejatinya adalah rahmatan lil alamin.

Karena saya tidak ingin ikut mencerca, mencaci, dan meneruskan BC tersebut, seketika itu pula saya yang dicerca dan dituduh LIBERAL. Rata-rata kalimat tuduhan yang dilontarkan pada saya bunyinya sama.
Astaghfirullah al adziim...

"Jadi kamu mendukung keputusan Asmirandah?!"
"Jadi kamu setuju dengan Asmirandah keluar dari Islam?!"
"Jadi kamu diam saja agamamu didustakan?!"
"Aku nggak ngira kalau kamu penganut Islam liberal !!!"

Seolah merasa paling tahu isi hati dan pikiran saya bahkan merasa lebih tahu dari Engkau yang Maha Tahu.
Apa saya bilang mendukung?
Apa saya bilang setuju?
Apa saya diam saja dengan pendustaan agama?
Apa saya mentasbihkan diri sebagai orang yang disebut Islam Liberal?
Apa itu liberal?
Toh saat pertanyaan-pertanyaan itu saya lontarkan, mereka tidak bisa menjawab.

SAYA INI ISLAM.
SAYA BUKAN PENGANUT ALIRAN-ALIRAN YANG ENTAH APAPUN SEBUTANNYA.
YANG SAYA PAHAMI, ISLAM ITU SATU.

Saya menceritakan masalah ini pada Ibu saya. Jelas Ibu saya khawatir dan sedih tapi beliau berpesan, "Innalillahi wa inna ilaihi roji'un, kita pernah melewati hal yang sama, bahkan mungkin ini jauh akan lebih mudah dilewati ketimbang dulu. Tetap ingatlah saat pertama kali kita mualaf yo Nduk! Sing Sumeleh (*berpasrahlah)"
Andai saya ikut mencak-mencak ikut menyerang, apa pengaruhnya? Yang ada malah ditertawakan, "Tuh OKOL digedein, AKAL disingkirin !!"
Nooohhhh,,, 

Bagi saya pribadi, hak saya adalah hanya mengucap Innalillahi wa inna ilaihi roji'un dan baik buruknya biar menjadi urusan Allah.
Tugas kita adalah membentengi keluarga kita dengan iman dengan menanggalkan keangkuhan rasa seolah paling suci sehingga berhak mencaci yang tidak sepaham dengan kita. Jangan karena sibuk menghujat orang lain, menjadikan kita lupa bahwa keluarga dekat kita sendiri terbengkalai dan terabaikan keimanannya.
Hisab diri kita dulu, sudah bebas dosakah kita? Apakah menurut Allah ibadah kita sebagai tanda cinta kita padaNYA ini sudah sempurna?
Yuk, mari bareng-bareng jadi umat yang mau tenang dan bijak berpikir agar kekuatan kita ini tidak dijadikan senjata oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk memusnahkan agama yang kita cintai ini.

Rasanya cukup sekian dulu luahan hati saya, sekedar ingin melegakan nafas yang sesak akibat tuduhan tersebut. Tidak ada niat dalam hati saya untuk memojokkan suatu agama tertentu. Tolong abaikan nama dan contact saya jika akan mengirim Broadcast Messages yang berbau SARA ya, TERIMA KASIH.

Mohon Maaf atas segala khilaf kata yang terucap di sepanjang tulisan kali ini.

BUKAN SAYA TIDAK PEDULI, 
TAPI SAYA HANYALAH BAGIAN DARI KEBODOHAN 
KARENANYA SAYA TERUS BELAJAR TANPA MERAMPAS "PENGHAKIMAN" YANG MURNI HAK ALLAH SWT



No comments:

Post a Comment