Pages

Saturday, February 1, 2014

Through the Journey Chapter 3. Saya Kecewa dan Saya Lapar



Perjalanan terus berlanjut di bawah guyuran hujan yang tidak konsisten, kadang deras, gerimis, berhenti, dan kembali deras lagi.
Di dalam kereta, AC menyala dengan suhu yang cukup terasa menggigit karena di luar sedang hujan. Dan seperti biasa, hawa dingin selalu membuat cacing-cacing di perut cepat lapar.
Salah saya memang, sangking semangatnya akan berkumpul dengan keluarga, saya lupa makan. Sejak pagi hanya terisi sebotol air mineral dan segelas teh tawar hangat dari bapak penunggu masjid.

Saya tebarkan pandangan ke penjuru gerbong, penumpang yang lain sudah mulai terlelap dalam tidur.
Mata saya mulai mencari dan baru tersadar bahwa sejak dari Stasiun Pasar Senen tidak ada suara asongan menjajakan dagangannya sama sekali. Terakhir mudik lebaran memang saya naik pesawat, tapi sebelum itu dan belum setahun saya mudik naik kereta tuh masih ada walau sudah jauh berkurang dan lebih tertib. Seingat saya, mereka mengenakan rompi pengenal.
Tapi sekarang, hanya petugas restorasi yang berkeliling menawarkan nasi goreng dan teh manis hangat.  Saya sengaja tidak memesan karena sedang batuk dan menghindari makan hidangan yang berminyak walau dalam bentuk nasi goreng sekalipun.

Pikir saya, nanti saja di Stasiun Cirebon, biasanya berhenti agak lama dan ada beberapa pedagang yang menjajakan nasi, dari nasi rames, nasi pecel, hingga lontong sate.

Tibalah kami di Stasiun Cirebon, berhenti, ya berhenti tapi tidak lama. Mungkin hanya 5 menit, dan sama sekali tidak ada penjual nasi yang naik. Saya mulai panik karena perut mulai meronta. Minum lagi sementara, mungkin sebentar lagi muncul, siapa tahu sedang menjajakan di gerbong lainnya.
Tapi hingga hampir sampai di Stasiun Brebes, yang ditunggu-tunggu tak kunjung muncul.

Iseng saya bertanya pada ketiga penumpang di hadapan saya, "apa sekarang sudah tidak ada lagi asongan yang boleh naik? Terakhir kali saya pulang beberapa waktu yang lalu tuh masih ada, mereka pakai rompi pengenal"

Si mbak menjawab, "Udah lama ndak boleh mbak, cuman orang restorasi, mana harganya mahal banget. Makanya saya sama suami bawa bekal camilan segini banyak hahaha. Bukannya pelit, tapi kalau mahalnya ndak aturan juga males to"

Saya manggut-manggut sambil memperhatikan sepasang suami istri yang akan turun di Solo tersebut. Dari penampilannya, mereka tidak terlihat seperti orang susah, walau santai sekali penampilannya, tapi tetap terkesan orang berada.

Manggut-manggut saya sontak berhenti ketika tersadar, "Apa? Tadi gimana mbak? Sudah nggak ada?", dan terdengar jerit pilu perut saya, "aaahhh tidaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaakkkkk...!!!!" .... u(ToT u)
Sumpah, saya langsung panik walau tetap mencoba tenang. Saatnya mencairkan tabungan doa, "Yaa Allah, adain yang jual makanan selain nasi goreng dong. Yang nggak bikin saya batuk gitu. Please Yaa Allah ya, secukupnya aja buat ganjel perut dan minum obat. Amiin."

Lalu, tidak berapa lama, terendus oleh hidung saya, semerbak aroma mie cup instant #gaBolehSebutMerk .
Mata saya langsung mencari sumber aroma dengan berdasarkan petunjuk dari hidung.
Satu penumpang lewat membawa mie cup yang sudah diseduh, lalu.... dua, kemudian.... tiga... empat ... lima ... dan makin banyak yang keluar dari gerbong belakang dan membawa mie cup seduh (nyesel harusnya saya videokan).

"Hoh, restorasi buka lagi?", gumam saya sendiri karena ketiga penumpang di depan saya sepertinya sudah terlelap.
"Kayaknya tuh mbak, tapi kurang tahu gerbong berapa.", jawab adik cowok yang akan turun di Madiun.
"Oh.. Eh..kirain dah bobo, dek.", sahut saya agak terkejut, "Hmmm... saya harus kesana ketimbang sakit lagi, jalan aja ke belakang, nanti juga pasti ketemu", lanjut saya dalam gumam.
Terlihat sekali saya sudah kelaparan ya ...  <(^o^)v
"Nggak ikut ke belakang? atau mau nitip?" tanya saya.
"Nggak deh mbak,  males jalannya dan lagian cuma mie", jawabnya
Saya tersenyum dan langsung meluncur ke arah gerbong belakang.

Mungkin tampang saya sudah sangat mirip macan lapar mengintai mangsa kali ya, hampir setiap mata yng saya lewati memandang ke arah saya. #gE-Er
Melongok ke dalam sambil terus menyusuri satu demi satu rangkaian gerbong ke belakang. Kondisi gerbong-gerbong yang saya lewati tidak jauh beda dengan gerbong saya, bahkan ada yang becek banget. Entah kenapa. Mungkin ada banjir lokal pas hujan tadi hahaha.

Dan akhirnya...taaaadaaaaaaaaaaaaaaa.... gerbong restorasi ketemu, tapi... "Yaa Allah, ini antrian sepanjang ini?! Bener-bener apakah deh! Kirain yang laper cuma saya". Gumaman saya itu ternyata terdengar oleh salah seorang penumpang yang antri di samping saya, hingga membuatnya tergelak.
"Hahaha iya mbak, dari tadi saya juga belum dapat giliran. Udah gitu ntar lama-lama antri pas udah nyampe giliran kita, stock mereka habis. Hahaha laperlah kita. Coba kalau masih ada asongan walau nggak sebanyak dulu"

"Setuju Mas", timpal saya menutupi malu karena gumaman saya terdengar, "Toh gini juga mereka kewalahan. Bukan apa-apa sih, kalau memang alasannya keamanan penumpang dan barang bawaannya, mbok ya dibatasi saja seperti terakhir kali yang masih ada asongan, khan itu juga tertib to."

"Nah, iya itu mbak. Anak saya dari tadi nangis, rewel mulu, katanya lapar. Tadi juga saya kira ada asongan, makanya nggak bawa bekal, khan berat dan lagi karena ini perjalanan jauh, pasti bakalan basi. Terpaksa mau beli mie instant ini, itu juga saya maksa karena dia nggak suka mie. Tapi ya gimana lagi daripada perutnya kosong.", e'eh si Mas langsung curol bkakakakak.

Obrolan kami terus berlanjut di sepanjang antrian, bahkan beberapa penumpang lain yang antri jadi ikut nimbrung. Dan baru saya sadari, bahwa lagi-lagi saya perempuan satu-satunya di antrian yang mengular itu. Eh ada perempuan lagi ding, itu si dedek kecil yang digendong si Mas yang curcol kekecewaannya hihihi.

Tak terasa, tiba giliran saya mengajukan pesanan. Setelah pesan satu mie cup, dengan tenang saya buka dompet dan bertanya, "Berapa, Pak?". "Sepuluh ribu, Mbak" jawab petugas restorasi.
Seketika saya berhenti membuka dompet dan mengalihkan pandangan ke petugas tersebut, "Berapa, Pak?", ulang saya memastikan, mungkin saya salah dengar. Petugas itu kembali menjawab sambil tersenyum, "Sepuluh ribu, Mbak".

Ekspresi wajah saya berubah datar, kembali memandang dompet dan mengeluarkan selembar sepuluh ribuan untuk membayar. "Makasih", ucap saya tetap datar sambil langsung membalikkan badan.
Mata saya bertemu pandang dengan teman-teman ngobrol singkat tadi, mereka ternyata juga melotot mendengar harga tersebut karena sangking asyiknya ngobrol jadi tidak memperhatikan. Allahu Akbar mahalnyaaaaaaaaa. Di toko-toko cuma Rp. 3.700, di asongan biasanya Rp. 5.000, tapi disiniiiii.....................what itu apakah deh......(*3*)a

Reflek bibir saya monyong sambil mengomel-ngomel tanpa suara sehingga mereka spontan tergelak kembali karena melihat saya.
Untung saya lapar dan ini juga doa yang terkabul, jadi saya tetap berusaha bersyukur sambil berjalan kembali ke tempat duduk saya.

"Alhamdulillaah...".... #TerharuBanget  (T3T)

No comments:

Post a Comment